Jumat, 23 Mei 2014

tujuh ratus sembilan puluh tujuh kata buatan

Malam ini terduduk diantara basah dedaun sisa gerimis sore tadi. Sepi setia temani diri dalam alunan sendu lagu sembari menyelami dalamnya kenangan tentang aku dan dirinya. Dalam alunan sendu itu, aku semakin jauh menelusuk masuk ke dalam memori tentang kita. Semua tentang kita kini hanya sebatas memori. Ya, hanya sebatas memori yang usang, tak bermakna lagi. 
Semakin larut, semakin dalam pula aku tenggelam pada lautan kenangan yang begitu dalam itu. Ya, pada masa-masa yang pernah kita lalui bersama selama enam tahun itu. Tak terasa memang, setiap detik yang terlewati bersama begitu berarti, dan akan terus berarti, setidaknya buat ku. Setiap tawa dan tangis yang ada dan tercipta ketika kita bersama, dulu, akan selalu tersimpan rapi di tempatnya. Ya, memang akan selalu ada pada satu tempat di dalam relung hati ini. Indah, memang indah saat-saat yang pernah kita lalui bersama. Namun, semuanya kini tinggal kenangan; usang, tak bermakna.
Tak dapat ku mengerti apa sebenarnya yang tengah ku rasa. Pada saat mudah baginya untuk melupakan, mengubur, dan melepas semuanya, aku malah sebaliknya. Sulit, bahkan teramat sulit bagiku menghapus semua bayang dan kenangan yang ada. Berbagai cara telah aku lakukan untuk dapat menghapus semuanya; nyatanya sia-sia belaka. Semakin kuat mencoba melepas, semakin nyata pula bayang dan kenangan itu ada.
29 Maret 2014
Hari yang sama, dilewati dengan cara yang sama pula: duduk termenung melepas waktu dengan tatapan kosong. Begitu kehidupan yang ku jalani beberapa waktu ini. Ya, setelah kehilangannya dengan alasan yang tak pernah ku sangka – mencari kebahagiaan dan tempat lain setelah masa sulit yang dilalui bersama. 
Aku seperti ini karena aku bukanlah tipikal seorang pencari yang selalu ingin berlari mencari sesuatu yang diinginkan. Aku adalah seorang yang “hanya memandang ke satu arah dan diam di situ dalam jangka waktu yang lama” (meminjam istilah dari film “5 cm”) begitupun halnya dengan kebahagiaan. Ketika sudah aku rasakan kebahagiaan dan kenyamanan itu, meski dalam rasa sakit yang teramat sakit pun, aku enggan beranjak darinya. Kebahagiaan buatku bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan atau digantikan oleh sesuatu yang baru ketika rasa jenuh dan tak nyaman melanda. Kebahagiaan adalah sesuatu yang harus kita terima dan syukuri terlepas dari segala keadaan yang tengah dihadapi. Ya, menerimanya meski dalam keadaan sakit yang begitu sakit.
Entah, akan seperti apa aku melaluinya. Pasti akan begitu sakit, teramat sakit bahkan untuk dapat melangkah satu langkah ke depan. Ya, apa boleh buat. Ku kira kita masih merasakan hal yang sama. Namun, nyatanya tidak. Aku yang merasakan sakit; dia yang dapat senang dengan kebahagiaan dan tempat barunya. 
30 Maret 2014
Tak pernah ku rasakan sakit yang sesakit ini. Sulit untuk melepas bayang dan kenangan yang selama ini ada dan tercipta. Setiap langkah yang ku buat untuk melupakan segalanya hanya berakhir pada sakit yang begitu perih. Entah, apa dia juga merasakan hal yang sama? Ku rasa tidak. Pada setiap kata yang terucap darinya, ku tafsir dia sudah dapat dengan begitu mudahnya melepas dan melupakan semuanya. Tak apa, yang penting sudah aku berikan semua ketulusan yang memang seharusnya aku berikan, meski pada akhirnya itu jugalah yang tengah membunuhku secara perlahan.
1 April 2014
Kebahagiaan bersamanya kini hanyalah berupa puing-puing kenangan bisu dan setumpuk foto-foto usang yang sudah tak mampu bercerita lagi. Merindukannya sekarang hanyalah berupa angan kosong yang tak akan pernah menjadi nyata. Setiap detik yang terlewati ketika telah tidak bersamanya menjadi saksi untuk rasa sakit yang teramat ini. Raga ku masih bisa disebut sehat – mampu berdiri tegak, berjalan, berlari, atau bahkan melompat. Tapi tidak dengan batinku. Jauh di dalam hati ini, aku menangis, sebenarnya, merasakan sakit yang entah harus dengan apa mengobatinya. Sering aku bertanya “Apakah ini karena ketulusan yang benar-benar aku berikan padanya? Apakah ini sebuah balasan terhadap ketulusan yang telah aku berikan sepenuhnya?”
Memang aku mencintai dan menyayanginya sepenuh hati; jauh dari lubuk hati terdalam telah ku serahkan semua padanya. Namun, tak selamanya rasa yang aku berikan ditanggapi dengan cara yang sama pula. Buktinya, ya seperti inilah. Rasa sayang dan cinta yang sepenuh hati diberikan pada akhirnya disalahartikan. Padahal, bukan tanpa alasan yang jelas aku bertindak dan bertutur. Tapi, ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur, begitu kata pepatah lama. Makan saja, toh semangkuk bubur pun masih bernutrisi meski tak sebanyak nutrisi yang ada dalam sepiring nasi. 
Jauh dari dalam hati ini aku bertanya “Apakah masih ada aku di dalam hatinya seperti apa yang selalu aku rasakan? Apakah dia sudah benar-benar mengubur apa yang selama ini kita impikan?” Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tau jawabnya. Aku hanya tak ingin larut dalam harap yang tak bersambut. Jiwaku sakit, batinku tersiksa, namun apa daya jika memang harap itu sudah tak bersambut. Mungkin, aku memang sudah benar-benar tergantikan oleh sesuatu yang baru yang jauh lebih mampu membahagiakannya. Namun, tetap aku berharap pada petunjuk-Nya yang pada akhirnya benar-benar dapat membuatku sadar akan arti semua ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar